Model-Model Kepemimpinan Masa Lalu
1.
Model Kepemimpinan
Kontingensi Fiedler
Model situasional pertama oleh Fred Edward Fiedler
(1964) dosen di University of Illinois dan sebagai Professor di University of
Washington. Dalam kepemimpinan menegahi hubungan antara efektivitas
kepemimpinan dengan suasanan kerja yang produktif. Bukti – bukti empiris model
kepemimpinan Fiedler didasarkan lebih 50 studi dari bermacam macam pemimpi.
Sampai seberapa tinggi pemimpin dapat memprediksi dan menentukan apa yang akan
dilakukan kelompok, dan keluaran apa dari tindakan pemimpin dan seperti apa keputusan yang akan
diambilnya.
Menurut model kepemimpinan ini,
terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah situasi
menguntungkan bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut adalah :
hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan
pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk
dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki
(kuasa posisi).[1]
Teori kontingensi menurut Yukl
(2010) membahas berbagai aspek kepemimpinan yang diterapkan pada situasi
tertentu saja, tetapi tidak tidak untuk situasi yang lain. Teori kontingensi
juga bisa deskriptif dan preskriptif. Teori kontingensi yang deskriptif
membahas perilaku yang paling efektif dalam setiap jenis situasi. Untuk menguji
hipotesis yang diformulasikan dari penemuan penelitian sebelumnya, maka Fiedler
mengembangkan apa yang disebutnya model kontingensi dari kepemimpinan yang
efektif menjelaskan model ini berisi hubungan antara gaya kepemimpinan dan
situasi yang menguntungkan dideskripsikan oleh Fiedler sebagai tiga dimensi
empiris yang dipertimbangkan yaitu:
1.
Leader member Relationship
Leader member relationship, yaitu
hubungan pribadi pemimpin dengan anggota kelompok merupakan variabel paling
kritis dalam menentukan situasi menyenangkan yang memengaruhi gaya kepemimpinan
paling efektif dan menggambarkan kualitas hubungan pemimpin dengan anggota
kelompok (lebih hangat dan bersahabat, maka situasi lebih menguntungkan).
Diemensi hubungan pemimpin dengan anggota (leader
member relations) dipandang sebagai hal yang paling penting ditinjau dari
sudut pemimpin, karena kuasa posisi dan struktur tugas boleh jadi sebagai besar
dikendalikan oleh perusahaan atau organisasi. Seberapa besar anggota mendukung
dan loyal kepada pemimpin yaitu dukungan pengikut pada pemimpin dan hubungan di
antara pengikut, perbedaan pendapat dan konflik. Dimensi ini berkaitan dengan
situasi sejauh mana anggota kelompok menyukai dan mempercayai pemimpin serta
mau mengikutinya.[2]
2.
Degree of Task Structure
Degree of task structure, yaitu
struktur tugas merupakan input penting kedua terhadap situasi yang menyenangkan
menggambarkan kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompk untuk
dilaksanakan yaitu susunan tugas yang dilaksanakan oleh bawahan lebih tersusun,
lebih menguntungkan. Apabila tugas jelas, kualitas prestasi dapat dikendalikan
dengan mudah, dan anggota kelompok dapat lebih pasti memikul tanggung jawab
untuk berprestasi dibandingkan apabila tugas tidak jelas.
3.
Leader Position Power
Leader
position power atau kekuasaan
posisi, yaitu sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimilki oleh seorang
pemimpin, karena posisinya akan diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan
rasa mimilki arti penting dan nilai dari setiap tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan juga
mendeskripsikan sampai dimana seorang pemimpin menggunakan otoritasnya dalam
memberikan hukuman dan penghargaan, promosi, dan penurunan pangkat.
Model
kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian
model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi
yang paling efektif antarakarakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan
variable situsional.
Pada
intinya kekuasaan dan kekuatan yang akan menentukan otoritas seorang pemimpin
di dalam sebuah organisasi besar atau kecil.
2. Model Kepemimpinan
Yetton dan Vroom
Model
situasi yang direkomendasikan Victor Harold Vroom dan Philip Yetton (1973)
adalah kondisi dimana pemimpin harus membagi kekuasaan dalam prosedur membuat
keputusan. Vroom mengemukakan teori motivasi Expectancy Theory dan bersama
Yetton dengan mengembangkan teori kepemimpinan pembuatan keputusan normatif.
Vroom dan Yetton mengasumsikan bahwa
pemimpin harus cukup fleksibel untuk mengubah gaya supaya cocok dengan situasi.
Fiedler berpendirian bahwa situasilah yang harus diubah supaya cocok dengan
gaya kepemimpinan yang cukup keras dan sukar diubah.[3]
Model kepemimpinan ini menetapkan
prosedur pengambilan keputusan yang paling efektif dalam suatu situasi
tertentu. Gaya kepemimpinan yang disarankan adalah autokratis dan gaya
konsultatif, dan satu gaya berorientasi keputusan bersama.
Vroom dan Yetton dalam mengembangkan
model mereka mengadakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi itu adalah:
a)
Model
harus bermanfaat bagi para pemimpin bagi para pemimpin atau para manajer dalam
menentukan gaya kepemimpinan manakah yang harus mereka gunakan dalam berbagai
macam situasi.
b)
Tidak
ada gaya kepemimpinan tunggal yang dapat diterapkan dalam semua situasi.
c)
Perhatian
pertama harus disesuaikan pada persoalan yang harus dipecahkan dan situasi
dimana persoalan itu terjadi.
d)
Gaya
kepemimpinan yang digunakan dalam suatu situasi seharusnya tidak memaksa metode
yang digunakan ke situasi yang lain.
e)
Ada
beberapa proses social yang akan mempengaruhi jumlah partisipasi oleh bawahan
dalam pengambilan keputusan.
f)
Dengan
menerapkan asumsi ini kita model yang menyangkut pengambilan keputusan
kepemimpinan.
Vroom dan Yetton menyarankan supaya
para pemimpin melaksanakan suatu diagnosis mengenai situasi dan persoalan
dengan menerapkan beberapa pengaturan tentang keputusan manakah yang cocok bagi
situasi tertentu. Dengan diagnosis yang berhati-hati, pemimpin dapat
meminimumkan kemungkinan menurunkannya mutu dan penerimaan keputusan. Peraturan
keputusan diagnosis adalah:
1.
Peraturan
Informasi Pemimpin (The Leader-Information Rule). Jika mutu keputusan
itu penting dan pemimpin tidak memiliki informasi yang cukup atau ahli untuk
memecahkan sendiri permasalahan, maka AL disingkirkan dari hal yang mungkin.
2.
Peraturan
kesesuaian tujuan (The Goal Congruence Rule). Jika mutu keputusan itu
penting dan bawahan tidak mungkin mengejar tujuan organisasi dalam usaha mereka
memecahkan persoalan, maka GII disingkirkan sebagai gaya yang mungkin.
3.
Peraturan
persoalan yang tidak tersusun (Unstructured problem rule). Dalam
keputusan dimana mutu keputusan itu
penting, jika pemimpin tidak memiliki informasi yang dibutuhkan atau atau
memecahkan sendiri persoalan, dan jika persoalan itu tidak tersusun, maka
metode persoalan harus memberikan interaksi.[4]
3. Model Kepemimpinan Jalur
Tujuan (Path Goal Theory Of Leadership)
Mengacu
kepada Robbins (1998 : 369) bahwa path goal theory of leadership dikembangkan
oleh Robert House, yang esensi teorinya bahwa pekerjaan pemimpin untuk membantu
para bawahan mencapai sasaran mereka dan memberikan arah yang penting atau
dukungan untuk menjamin bahwa sasaran mereka cocok dengan semua sasaran organisasi. Istilah “path-goal
diambil dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif dapat menjelaskan jalan
untuk membantu anggota memperoleh darimana untuk mencapai kinerja atau sasaran
kerja serta membuat catatan jalan panjang yang mudah dengan mengurangi
penghadang jalan dan lubang perangkap”.[5]
Berdasarkan teori path-goal, perilaku kepemimpinan sebagai sumber
pengaruh, dapat mengubah sikap, motivasi, dan perilaku individu bawahan (Malik
et. Al., 2014).[6]
Dengan kata lain, Path goal theory of leadership menjelaskan bagaimana perilaku pemimpin
memengaruhi motivasi bawahan dan pelaksanaan kerjanya dalam situasi kerja yang
berbeda. Pemimpin menjadi efektif sebab pengaruh positif terhadap motivasi,
kemampuan untuk bekerja dan kepuasan. Fokus teori ini adalah bagaimana seorang
pemimpin akan memengaruhi persepsi bawahan atas sasaran kerja, pengembangan
sasaran pribadi, dan dalam jalan mencapai tujuan atau sasaran.
Model
kepemimpinan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai imbalan. Proposisi utama
path goal theory ini menurut House dan Mithell (1974) menekankan bahwa
perilaku pemimpin akan meningkatkan motivasi bawahan sejauh (1) pemimpin
memuaskan kebutuhan para bawahan yang dikaitkan dengan pelaksanaan kerja yang
efektif ; dan (2) pemimpin memberikan latihan, bimbingan, dan dukungan yang
diperlukan, jika tidak akan mengalami kekurangan. Robbins lebih menegaskan
perilaku pemimpin akan memberikan motivasi panjang (1) membuat bawahan merasa
butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif; (2) menyediakan ajaran, arahan,
dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif.
Ada
empat perbedaan perilaku kepemimpinan yang dikemukakan dalam path-goal dengan
menegaskan proposisi bahwa manajer dapat memudahkan kinerja menunjukkan kepada
pegawai bagaiamana kinerja mereka secara langsung mempengaruhi penerimaan
mereka terhadap keinginan imbalan. Versi teori Robert House oleh Luthans (2005:
558) menggabungkan empat tipe atau gaya kepemimpinan utama yaitu :
1.
Kepemimpinan Pengarah (Leader Directiveness)
Dalam arahan
pemimpin cenderung untuk :
1)
Menetapkan
pelaksanaan tujuan kelompok;
2)
Menetapkan
tanggung jawab bagi pelaksanaan;
3)
Membentuk
saluran komando yang pasti;
4)
Melatih
pegawai untuk melaksanakan tugas;
5)
Memberikan
informasi dan intruksi yang diperlukan;
6)
Menggunakan
imbalan dan hukuman untuk mengontrol perilaku bawahan; dan
7)
Menetapkan
hubungan prestasi-imbalan.
Gaya
Lippit dan White, bawahan mengetahui dengan pasti apa yang diharapakan dari
mereka, dan pemimpin pengarahan spesifik sementara bawahan tidak ada partispasi.
2.
Kepemimpinan Pendukung (Leader Supportiveness)
Leader supportiveness,
pemimpin pendukung dapat disamakan dengan pemimpin yang mengutamakan hubungan
kerja kemanusiaan. Pemimpin akan berpengaruh positif pada kepuasan bawahan
bekerja pada situasi ketegangan, frustasi, atau tugas-tugas yang tidak
memuaskan.[7] Leader
supportiveness cenderung :
1)
Menunjukkan
perhatian pada bawahan;
2)
Bersahabat
dan mudah ditemui;
3)
Terus-menerus
mengadkakan konsultasi pribadi;
4)
Mendorong
bawahan unruk memperlihatkan perasaan dan perhatian mereka;
5)
Berusaha
membuat keselarasan dalam kelompok kerja;
6)
Menggunakan
imbalan sebagai alat memperoleh dukungan; dan
7)
Lebih
banyak memakai imbalan positif darupada sanksi negatif.
Gaya kepemimpinan ini memiliki sikap ramah (friendly), mudah
didekati (approachble), dan menunjukkan perhatian tulus (shows a
genune concern) untuk bawahan.
3.
Kepemimpinan Partisipatif (Participative Leadership)
Kepemimpinan partisipatif adalah
pemimpin yang berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil keputusan.[8] Participative
leadership cenderung :
1)
Mengizinkan
kelompok menetapkan pelaksanaan tujuan mereka sendiri ;
2)
Mengizinkan
anggota kelompok menyusun pekerjaan mereka sendiri;
3)
Mengatasi
perbedaan atau kesulitan dengan bawahan;
4)
Menggunakan
peran serta bawahan sebagai alat komunikasi;
5)
Membolehkan
anggota kelompok menjalankan kontrol atas kemajuab prestasi;
6)
Lebih
banyak menggunakan sistem imbalan berdasarkan kelompok daripada individu; dan
7)
Sama-sama
menanggung keberhasilan dan kegagalan kelompok dengan bawahan.
Gaya
ini meminta dan menggunakan saran dari bawahan, tetapi masih membuat keputusan.[9]
4.
Kepemimpinan Berorientasi Prestasi (Achievement Oriented
Leadership)
Kepemimpinan beroerientasi prestasi
adalah pemimpin yang menetapkan target, dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal untuk mengembangkan prsetasi dalam mencapai tujuannya.
Sedangkan
menurut Gibson, et al (1997 : 287), keempat perilaku kepemimpinan meliputi :
1)
Memerintah
(Directuve), yaitu pimpinan memberitahuapa dan kapan sesuatu dikerjakan
pegawai, tidak ada partisipasi bawahan dalam pengambilan keptusan.
2)
Mendukung
(Supportive), yaitu manajer menjadi sahabat bagi pegawai dan menunjukkan
minat kepada mereka.
3)
Memudahkan
(Fasilitative), yaitu pimpinan memberitahu sasaran dan melibatkan
pegawai dalam pengambilan keputusan.
4)
Orientasi
Prestasi (Achievement-Oriented), yaitu pimpinan membagikan sumbangan
tujuan dan menunjukkan kepercayaan bahwa pegawai mampu mencapai tujuannya.
Keempat model kepemimpinan yang
telah dipaparkan sudah banyak diteliti pada berbagai organisasi san institusi
dalam menjelaskan perilaku kepemimpinan yang kondusif untuk diaplikasikan untuk
mencapai tujuan organisasi.[10]
4. Model Kepemimpinan
Situsional Hersey-Blanchard
Model
kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan
fokus utama faktor situasi sebagai variable penentu kemampuan kepemimpinan.
Studi-studi kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik
situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin
berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan
juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebihberdasarkan fungsinya, bukan
lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Teori kepemimpinan situasional
menampilkan 4 model dengan ciri-ciri perilaku tersendiri dijelaskan Hersey dan
Blanchard (1988 : 91), perilaku tersebut mencakup :
1)
Memberitahukan
(telling), pemimpin memberitahukan instruksi spesifik dan menyelia
pelaksanaan pekerjaan secara bersama.
2)
Menjajakan
(selling), pemimpin menjelaskan keputusan dan memberi kesempatan kepada
bawahan untuk memperoleh kejelasan.
3)
Mengikutsertakan
(participating), pemimpin dan anggota tukar-menukar ide dan memudahkan
dalam pengambilan keputusan.
4)
Mendelegasikan
(delegating), pemimpin mendelegasikan tanggung jawab pengambilan
keputusan.
Dalam
penggunaan teori diatas, ada proses yang kurang diperhatikan bahwa sebagai
model kepemimpinan situasional bahwa harus ada proses menyelami pikiran, perasaan, dan harapan orang-orang yang ada
dalam organisasi melalui dialog,
penjajakan, pendapat, dan komunikasi hal itu dapat menjadikan tempat
beranjak nya pimpinan dalam menentukan arah, mencerahkan dan memotivasi anggota
dalam mengejar tujuan, kepuasan, kinerja, mutu, dan pengembangan organisasi.[11]
Model-Model
Kepemimpinan Masa Kini (Sekarang)
1. Kepemimpinan
Transformasional
Teori
kepemimpinan transformasional secara kuat dipengaruhi oleh James Mcgregor Burns
(1978), dan Bass (1985, 1996) yang membedakan esensi teorinya antara
kepemimpinan transformasional dengan transaksional". Keduanya
didefinisikan dalam cakupan istilah komponen perilaku yang digunakan
mempengaruhi anggota dan pengaruh pimpinan atas anggota. Kepemimpinan
transformasional memunculkan nilai moral pegawai dalam suatu usaha untuk
menumbuhkan kesadaran tentang masalah etika dan menggerakkan energi mereka dan
sumberdaya untuk mereformasi lembaga.Teori ini mengacu pada kemampuan seorang
pemimpin untuk memberikan pertimbangan danrangsangan intelektual yang
individukan dan yang memiliki charisma. Dengan kata lain, pemimpin
transformasional adalah pemimpin yang mampu memperhatikan keprihatinan dan
kebutuhanpengembangan diri pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk
mencapai tujuan kelompok.
Hater
dan Bass (1988) menyatakan bahwa pamimpin transformasional merupakan
pemimpinyang kharismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam
membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus
mempunyai kemampuan untuk menyamakan visimasa depan dengan bawahannya, serta
mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebihtinggi dari pada apa yang
mereka butuhkan.
Yamarino
dan Bass (1990), pemimpin trasformasional harus mampu membujuk parabawahannya
melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi
kepentinganorganisasi yang lebih besar.
Bass
dan Avolio (1994), mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai
empat dimensi yang disebutnya sebagai “The Four I’s” :
a)
Perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati sekaligus
mempercayai(Pengaruh ideal).
b)
Pemimpin
transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan
pengharapanyang jelas terhadap prestasi bawahan (Motivasi-inspirasi).
c)
Pemimpin
transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang
kreatifterhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan (stimulasi
intelektual).
d)
Pemimpin
transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan
dengan penuhperhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhanbawahan akan pengembangan karir (konsederasi
individu).
Menurut
Gibson (1997: 314) dengan menyatakan visi, kepemimpinan transformasional
membujuk anggota untuk bekerja keras untuk mencapai sasaran. Visi pimpinan
memberikan kepada anggota sebagai motivasi bekerja keras yang memperoleh
imbalan diri". Dalam kepemimpinan transformasional, para pengikut merasa percaya,
terhormat, loyal dan hormat terhadap pimpinan, dan mereka terdorong melakukan
lebih dari apa yang diharapkan untuk dilakukan. Mengacu kepada pendapat Bass,
pemimpin melakukan transformasional dan memotivasi anggota dengan: 1) membuat
bawahan lebih menyadari pentingnya hasil pekerjaan, 2) membujuk mereka
meninggikan minat pribadi mereka bagi memelihara organisasi dan tim, 3)
mengaktifkan kebutuhan akan aturan lebih tinggi". Sementara kepemimpinan
transaksional mencakup suatu proses perubahan yang menghasilkan dalam hal
pemenuhan harapan bawahan dengan pimpinan untuk menggerakkan antusiasme dan
komitmen terhadap sasaran pekerjaan".
Perilaku
kepemimpinan transformasional yaitu: 1) pengaruh ideal; perilaku yang muncul
dari emosi memberi pengaruh kuat kepada pengikut dan identifikasi dengan
pimpinan, 2) simulasi intelektual; adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran
pengikut terhadap masalah dan mempengaruhi pengikut untuk memandang masalah
dari perspektif baru, 3) penghargaan individu; mencakup memberikan dukungan,
membangkitkan semangat, untuk melatih anggota, 4) motivasi inspirasi; yang mencakup komunikasi
kemunculan visi, menggunakan simbol terhadap fokus usaha bawahan perilaku
teladan yang sesuai" (Yulk, 2006: 265). Itu artinya, kepemimpinan transformational
senantiasa mengarahkan perubahan dengan pendekatan pemberdayaan personil
sekolah. Perilaku kepemimpinan transformasional dipandang sebagai kasus khusus
dari kepemimpinan transaksional, dengan reward pegawai adalah bersifat
internal. Dengan menyatakan suatu visi, kepemimpinan transformasional membujuk
anggota-anggotanya untuk bekerja dalam rangka mencapai sasaran yang nyata. Visi
pimpinan memberikan kepada anggota dengan memotivasi untuk bekerja keras
bersumber dengan imbalan pribadi bersifat internal.
Banyak
peneliti dan praktisi managemen yang sepakat bahwa model
kepemimpinantransformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam
menguraikan karakteristikpemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).[12]
Hasil
survey Parry (2000) yang dilakukan di New Zealand, menunjukkan tidak
adapertentangan dengan penemuan-penemuan sebelumnya tentang efektifitas
kepemimpinantransformasional. Disamping itu Parry juga berpendapat bahwa
kepemimpinan transformasional dapatdilatihkan, pendapat ini didasarkan pada temuan-temuannya
yaitu keberhasilan pelatihankepemimpinan transformasional yang dilakukan di New
Zealand sebagai berikut:
a.
Berhasil
meningkatkan kemampuan pelaksanaan kepemimpinan transformasional lebih dari 11%
(dilihatdari peningkatan hasil usahanya) setelah dua hingga tiga bulan dilatih.
b.
Berhasil
meningkatkan kegiatan kerja bawahan sebesar 11% setelah dua hingga tiga bulan
dilatih.
2. Model Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan
transaksional memotivasi pengikut dengan memunculkan adanya minat pribadi dan perubahan
keuntungan" (Yulk, 2006: 251).
Bagi
pemimpin bisnis, kepemimpinan transaksional bermakna memberikan gaji dan
keuntungan lain sebagai pengembalian usaha atau pekerjaan. Perilaku
kepemimpinan ini juga melibatkan nilai, tetapi nilai yang terkait dengan proses
perubahan, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan hubungan timbal
balik.
Perilaku
kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan sasaran, arah dan misi untuk
alasan praktis. Kepemimpinan transformasional membuat perubahan utama dalam
organisasi atau unit misi, cara kerja bisnis, dan manajemen sumber daya manusia
untuk mencapai visi mereka".
Perilaku
kepemimpinan transformasional merupakan perubahan lebih lanjut perilaku
kepemimpinan transaksional dengan kekuatan visi dan misi sebagai pemimpin
organisasi. Dijelaskan Hesselbein (1996: 211) bahwa pemimpin yang mengarahkan
kepada perubahan kualitatif tidak hanya memberi inspirasi, tetapi sekaligus
mewujudkan visi dan misi.
Selanjutnya
menurut Owens (1995: 122) bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan pimpinan
berhubungan dengan anggota-anggotanya, yaitu:
1)
mendorong
mereka menyatu dengan yang lain dalam rangka membagi visi, ke mana seharusnya
organisasi pergi dan bagaimana mencapai visi tersebut,
2)
membangkitkan
komitmen pribadi untuk berusaha membawa visi memasuki masa depan yang lebih
baik,
3)
mengatur
lingkungan kerja sama yang menjadikan tujuan sebagai nilai terpusat dalam
organisasi, dan
4)
memudahkan
pekerjaan yang mereka butuhkan melakukannya untuk mencapai visi.
Menurut
Nanus dan Dobbs (1999: 6) bahwa seorang pimpinan organisasi non profit adalah
seorang yang memimpin sumber daya orang, modal dan intelektual organisasi
bergerak kepada arah yang benar. Secara lebih jelas, dinyatakan:
1)
Memimpin
sumber daya berarti mengumpulkan, memfokuskan perhatian dan menginspirasi.
2)
Mendorong
organisasi berarti memperkuatnya menuju peningkatan kinerja.
3)
Menentukan
arah yang benar menuju kebaikan terbesar untuk dikejar.
Sebenarnya
model atau gaya kepemimpinan yang menentukan munculnya perilaku kepemimpinan
seseorang sebagaimana dikemukakan dalam teori perilaku kepemimpinan diatas. Hal
yang penting bahwa setiap model perilaku kepemimpinan memiliki kelebihan dan
kekurangan sesuai dengan konteks di mana kepemimpinan tersebut berlangsung.[13]
DAPUS
Chaniago, Aspizain. 2017. Pemimpin dan Kepemimpinan
(Pendekatan Teori dan Studi Kasus). Jakarta : Lentera Ilmu Cendekia.
Bhayapradesita,Yussy. “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Path-Goal Terhadap Intensitas Turnover dimediasi Oleh Komitmen
Organisasional (Studi Pada Karyawan Bank
Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kediri)”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 7
(2), 1-17.
Farhan, Bayan Yousef. “Application Of Path-Goal Leadership Theory
And Learning Theory In A Learning Organization”. The Journal of Applied
Business Research, 34 (1), 13-22.
Sagala Syaiful. 2018. Pendekatan dan Model Kepemimpinan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Syafaruddin dan Asrul. 2015. Kepemimpinandan Pendidikan
Kontemporer. Bandung : Cita Pustaka Media.
[1]Aspizain
Chaniago, Pemimpin dan Kepemimpinan (Pendekatan Teori dan Studi Kasus)
(Jakarta : Lentera Ilmu Cendekia, 2017), hal. 38.
[2]Syaiful
Sagala, Pendekatan dan Model Kepemimpinan (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group,2018), hal. 122-123.
[3]Ibid.,
hal. 123-132.
[4]Ibid.,
hal. 123-132.
[5]Syafaruddin dan
Asrul, Kepemimpinandan Pendidikan Kontemporer (Bandung: Cita Pustaka
Media, 2015), hal. 67-68.
[6]Bayan Yousef
Farhan, “Application Of Path-Goal Leadership Theory And Learning Theory In A
Learning Organization”, The Journal of Applied Business Research, Vol.
34 No. 1 (2018), hal. 17.
[7]Syaiful
Sagala, Pendekatan dan Model Kepemimpinan (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group,2018), hal. 139-143.
[8]Yussy
Bhayapradesita, “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Path-Goal Terhadap Intensitas
Turnover dimediasi Oleh Komitmen Organisasional
(Studi Pada Karyawan Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kediri)”, Jurnal
Ilmiah Mahasiswa FEB, Vol. 7 No.2 (2018), hal. 6.
[9]Syaiful
Sagala, Pendekatan dan Model Kepemimpinan (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group,2018), hal. 140-144.
[10]Syafaruddin dan
Asrul, Kepemimpinandan Pendidikan Kontemporer (Bandung: Cita Pustaka Media,
2015), hal. 66.
[11]
Ibid., hal. 67.
[12]Ibid.,
hal. 67-68.
[13]
Ibid., hal. 67-68.
Komentar
Posting Komentar